Raja-raja di seluruh Nusantara pernah bersinggungan dengan penguasa laut Kidul (Selatan). Ada tiga penguasa laut Selatan. Dan mereka inilah yang menjadikan raja-raja tersebut sebagai budak seks. Konon, diantara penguasa itu ada yang berasal dari titisan Dewi, dan namanya Dewi Nawangwulan.
Jauh sebelum adanya kisah Joko Tarub dan Nawangwulan, di
negeri awan, yaitu negeri para Dewa-Dewi, terdapat sebuah kerajaan langit.
Kerajaan langit itu dipimpin oleh seorang Ratu. Ratu itu bernama Dewi
Sekarwatimara atau Dewi Naga Selatan atau Dewi Kidul. Dari namanya, Dewi
Sekarwatimara berbadan setengah manusia tapi setengah ular. Dewi Sekarwatimara
termasuk golongan bangsa jin.
Dewi Sekarwatimara memiliki tiga orang putri. Masing-masing
memiliki sukma sejati Ular Kobra, Naga Hijau dan Ular Sanca. Ketiga putri
bangsa jin itu memiliki sifat dan perwatakan yang berbeda-beda. Dewi Rara Panas
atau Dewi Rara Kidul adalah Dewi yang berparas cantik dan memiliki kemiripan
dengan ibunya Dewi Naga Selatan yang bersifat welas asih dan bijaksana.
Sementara Dewi Ningrum adalah ratu yang berwatak dingin dan
lemah lembut, tokoh ini jarang dikenal oleh manusia. Sebab dirinya jarang
muncul di dunia alam manusia.
Sedangkan saudara tuanya bernama Dewi Blorong. Karakter Dewi
Blorong keras dan jahat. Blorong dikenal sangat digdaya dan menjadi ratu
penguasa ilmu kegelapan. Dialah Dewi dari segala lelembut yang menyebarkan ilmu
kekebalan, ilmu kesaktian, ilmu santet dan sebagainya. Dewi Blorong menjadi
penyebab segala bentuk kekacauan di alam manusia.
Biasanya para pelaku spiritual selalu digoda dan ditemui
oleh bangsa lelembut seperti Dewi Blorong maupun Dewi Rara Panas. Sedangkan
Dewi Ningrum amat jarang menampakan diri pada manusia.
Tersebutlah nama Dewi Kaditha. Dia adalah putri raja dari
ratu di zaman Kerajaan Sunda Kuno yaitu Prabu Munding Wangi. Dewi Kaditha
awalnya sangat cantik. Melihat kecantikan putri Prabu Munding Wangi tersebut,
banyak punggawa yang jatuh hati. Namun cinta mereka ditolak. Tidak sedikit
orang yang patah hati. Maka, digunakanlah ilmu teluh. Dewi Katidha diguna-gunai
dengan ilmu hitam. Kontan, sekujur tubuh Katidha bersisik, berbau amis dan
busuk.
Tabib istana tidak ada yang mampu mengobati penyakit putri
Raja Munding Wangi. Manca negara pun dijelajah untuk mendapatkan tabib dan obat
bagi Dewi Katidha. Rasa putus membuat Dewi Katidha melarikan diri dari istana.
Dia kemudian berjalan tanpa arah tujuan, hingga sampailah ia di suatu tebing
samudra yang ombaknya bergelombang sangat dahsyat.
Di tempat itu ia duduk termenung seorang diri. Dalam
lamunanya, Dewi Katidha mendengar suara bisikan. Dan ternyata suara bisikan itu
berasal dari Dewi Blorong. “Hai Dewi Kaditha, aku bisa menyembuhkan penyakit
yang engkau derita. Bahkan menganugerahkan kemuliaan kepadamu, asal engkau mau
menjadi pengikutku,” kata Blorong. “Bila engkau menerima tawaranku, engkau
harus menceburkan diri ke samudra di depanmu,” perintah Blorong.
Tanpa pikir panjang, Dewi Katidha langsung menceburkan diri
ke dalam gulungan ombak yang menggegar. Tubuh Dewi Katidha hilang tersapu ombak
yang dahsyat. Dia kemudian menjadi Ratu Alam Gaib yang menguasai sepanjang
pantai selatan di pelabuhan Ratu, Sukabumi,Jawa Barat.
Sebuah makam berukuran besar di Karanghawu, Sukabumi, Jawa
Barat merupakan bukti kematian Dewi Katidha setelah terjun ke dalam laut dan
berganti wujud halus. Jiwanya masuk ke alam lelembut, alam kajiman dan menjadi
anak angkat Blorong.
Jaka Tarub dan Nawangwulan cerita penguasa laut selatan
tidak berhenti sampai di situ. Adalah Nawangwulan. Dia anak dari Ratu
Atas Angin. Pada setiap malam purnama tiba, Putri Nawangwulan turun ke dunia
dan mandi di sebuah telaga bersama ke tujuh saudara-saudaranya.
Dari ke Tujuh bersaudara Putri Nawangwulan terlihat paling cantik. Selain cantik, Nawangwulan juga sangat baik hati. Mereka bersenang- senang, tertawa bersuka ria.
Tanpa mereka sadari ada sepasang mata Jaka Tarup mengintip
dari semak-semak. Jaka Tarup sangat menikmati senda gurau dan lekuk tubuh
Dewi-dewi Atas Awan yang sedang mandi tersebut. Sambil menikmati pemandangan
yang langka, otaknya berpikir menyembunyikan selendang dan pakaian salah satu
bidadari.
Tibalah saatnya para bidadari tersebut untuk kembali terbang
ke angkasa meniti pelangi. Enam bidadari telah siap dengan membentangkan
selendangnya. Namun seorang putri masih sibuk mencari-cari, di manakah
selendang yang ia letakkan. Alangkah masgulnya Nawangwulan saat mengetahui
selendang dan pakaianya tidak berada di tempatnya.
Selendang itu merupakan pakaian yang menjadi alat terbang
untuk kembali ke khayangan. Tapi kini selendang itu raib. Keenam orang
saudaranya tidak dapat menunggu lama. Mereka segera terbang meninggalkan Nawangwulan
dalam keadaan menangis.
Akhirnya ia mengadu dan menangis sejadi-jadinya di sebuah
akar pohon besar. Dari tepi telaga yang tak jauh dari tempat bersimpuh
Nawangwulan, Jaka Tarub mengambil kesempatan. Pria itu merayu sang putri agar
jangan terlalu bersedih dan berduka. Karena ia bersedia menolong, memberi pakaian
dan tempat tinggal. Tentu saja dengan memberikan harapan kepada Nawangwulan
untuk bisa menemukan pakaian dan selendangnya agar ia bisa kembali ke
khayangan.
Jaka Tarub tidak ingin dituduh kumpul kebo oleh penduduk
desa. Karenanya dia mengajak menikah Nawangwulan. Itu pun sebagai syartat
pernikahan agar dapat tinggal serumah.
Suatu ketika, Nawangwulan berhasil menemukan selendang
miliknya di sebuah guci dalam sebuah kamar terlarang. Sebelumnya Jaka Tarub
berpesan agar dirinya tidak memasuki salah satu kamar di rumah mereka tinggal.
Kamar itu selalu terkunci dan bila ada Jaka Tarub, Nawangwulan tidak
diperbolehkan mendekati kamar tersebut. Apalagi memasukinya.
Saat itu Nawangwulan penasaran. Ketika Jaka Tarub pergi, ia
berniat memasukinya. Tanpa disangka ia menemukan pakaian dan selendang
langitnya. Kemudian Nawangwulan pun mempersiapkan diri kembali ke telaga untuk
terbang menuju angkasa menuju keraton Ratu Atas Angin. Dari pernikahan itu,
Nawangwulan dan Jaka Tarub telah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia 1 tahun.
Sebenarnya sang putri berat meninggalkan anaknya semata
wayang. Namun rasa kangennya terhadap keluarga Atas Awan mengharuskan memilih
satu pilihan. Yaitu meninggalkan suami dan anak buah cinta mereka.
Sepeninggal Nawangwulan, Jaka Tarub menjadi sedih. Ia
berlari sambil menggendong anaknya, memohon kepada Nawangwulan untuk tinggal
beberapa masa lagi bersama mereka.
Pertemuan dan perpisahan selalu menghasilkan gejolak perasaan.
Pertemuan dengan ibunya di Kerajaan Awan sangat menyenangkan hati Nawangwulan.
Sayangnya di sisi lain, dirinya harus berpisah dengan suami dan anaknya. Dua
keadaan itu menjadi kegalauan bagi istri Jaka Tarub. Selanjutnya, dengan
memberanikan diri Nawangwulan meminta ijin kepada Ratu Atas Awan untuk turun
kembali ke bumi untuk menemui suami dan anaknya.
“Sekali lagi kamu turun ke bumi anakku, engkau tidak aka
bisa kembali ke khayangan lagi,” begitu kata Ratu Atas Awan. “Engkau akan
menjadi manusia selamanya. Engkau akan mengalami sakit dan kematian. Anakku,
engkau akan hidup di dunia selama 35 tahun dan anakmu juga tidak lama hidup di
dunia, ia hidup hanya sampai remaja. Dan kelak, setelah engkau mengalami
kematian, dirimu akan menjadi anak angkat dari Blorong.
Dirimu akan menjadi penguasa lautan di wilayah Jawa Tengah
dan sekitarnya,” kata Ratu Atas Awan. “Dan anak semata wayangmu itu, ia akan
ikut dirimu. Kalau sudah bulat tekatmu, bunda akan antarkan sekarang turun ke
bumi. Tetapi satu hal yang aku inginkan, jangan kau lupakan ajaran leluhur
kita,” pesan Ratu Atas Awan.
Dengan berlinang airmata, Nawangwulan mencium tangan
ibundanya. “Anakmu memohon restu bunda. Dan berilah hamba bekal ilmu untuk
hidup di alam manusia yang bisa hamba pakai sewaktu-waktu dalam keadaan yang
genting,” pinta Nawangwulan kepada ibunya.
Dengan 50 ribu bala tentara dan kereta kencana yang ditarik
4 ekor kuda terbang, Nawangwulan turun ke bumi. Ia turun di dekat sebuah
telaga, di mana tempat pertama bertemu dengan Jaka Tarub. Nawangwulan turun dan
ditinggal sendiri. Setelah sampai di tempat tersebut, segera ia menuju ke rumah
untuk bertemu dengan suami dan anaknya.
Rasa bahagia terbayang dalam hati dan pikirannya. Dengan
terburu-buru Nawangwulan mendatangi rumah Joko Tarub. Sesampai di rumah,
dirinya hanya melihat seorang anak usia enam tahun sedang bermain seorang
sendiri. Dia bertanya kepada anak tersebut yang tak lain anaknya. “Kemana
bapakmu, Nak?”
Anak itu menjawab dengan pandangan kagum bercampur bingung.
“Ayahku tadi sedang berada di sawah. Mungkin sekarang sedang mengajarkan
beladiri kepada para pemuda desa,” kata anak itu. Nawangwulan menangis hati
dalam hati. Ingin rasanya ia memeluk tapi ia takut.
“Ya sudah, saya tunggu di sini sampai bapakmu pulang,” kata
Nawangwulan. “Kenalkan nama saya Ibu Nawangwulan,” kata Nawangwulan
mengulurkan tangannya mendekati anaknya. “Oh, ini yang pernah diceritakan
bapak. Bahwa saya mempunyai ibu berasal dari langit, bukan berasal dari bangsa
manusia, tetapi berasal dari alam lain,” kata Rangga, begitu biasa ayahnya
memanggil nama anak itu.
Putri Nawangwulan kaget. Tidak disangka bahwa bapaknya telah
menceritakan ikhwal dirinya. Dipeluknya Rangga erat-erat dengan menahan tangis.
Nawangwulan merasa baru beberapa bulan meninggalkan suami dan anaknya. Tetapi
anak itu kini telah tumbuh begitu besar. Rasa rindu membuat kedua makhluk ibu
dan anak ini bercanda dengan riangnya. Hingga tak lama kemudian datanglah Jaka
Tarub. Mengetahui kepulangan istrinya, hati Jaka Tarub seakan tersiram bunga
surga.
Ratu Kidul Menikah dengan Raja. Suatu saat Nawangwulan
mengajak jantung hatinya bermain di tepi sebuah pantai. Pantai itu terletak di
kawasan Jawa Tengah. Dirinya ingin menunjukkan kepada putra tunggalnya untuk
mengenal alam.
Tanpa ia sadari, ternyata Nawangwulan sedang diawasi oleh
Blorong dan panglimanya. Blorong tahu, suatu saat nanti wanita dan anak ini
akan menjadi penguasa laut selatan. ”Sekarang belum waktunya,” kata Blorong
kepada panglimanya. “Biarkan mereka menikmati hidup alam manusia ini dengan
tenang, hingga tiba waktunya mereka menjalani takdirnya, menjadi anak angkatku,”
jelas Blorong.
Kebiasaan itu dilakukan Nawangwulan dan anaknya hingga
beberapa lama. Hampir setiap hari mereka menikmati ombak, pasir dan pantai. Dan
hampir setiap berada di pantai itu, Blorong dan panglimanya selalu mengawasi
kedua calon penguasa pantai selatan kawasan Jawa Tengah itu.
Menginjak usia 20 tahun, Rangga mulai sering jatuh sakit.
Tidak ada obat yang mampu membuat remaja itu sehat kembali. Karena sering
memikirkan penyakit sang anak, Nawangwulan menjadi lupa mengurus diri. Ia juga
tidak mau makan. Kebiasaan itu menyebabkan dirinya jatuh sakit. Saat itulah
Nawangwulan ingat akan petuah ibunya Ratu Atas Awan. Bahwa usianya tidak akan
melebihi 35 tahun. Dan anaknya akan meninggal dalam usia remaja.
Putri Nawangwulan mengadakan kontak batin dengan ibunya.
Memang itulah jalan hidup bagi diri dan anaknya. Sudah menjadi suratan takdir
bila ia hidup di alam manusia dan menjadi bagian dari manusia, dirinya kan mengalami kematian.
Setelah itu dirinya akan hidup di alam jin dengan menjadi anak angkat yang kedua
bagi Blorong.
Nawangwulan hanya bisa pasrah dengan nasibnya. Tak berapa lama
setelah melakukan kontak dengan ibunya, utusan Blorong datang menjemputnya.
Utusan itu membawanya pergi menuju istana bawah laut.
Dewi Blorong telah menunggu kedatangan arwah ibu dan anak
itu di istananya. Dengan duduk di singgasananya Blorong menerima Putri
Nawangwulan. Untuk beberapa lama kemudian Nawangwulan mendapat pelajaran ilmu
kesaktian dan kejayaan. Selain dirinya, Rangga juga mendapatkan gemblengan
Blorong yang kelak dipersiapkan membantu ibunya dalam menggoda manusia. “Saya
Bunda, pengganti ibumu di angkasa,” begitu kata Blorong kepada Nawangwulan.
“Aku telah ajarkan berbagai ilmu kepada kalian berdua. Dengan ilmu itu, engkau
memiliki tugas untuk membujuk bangsa manusia untuk menjadi pengikutku,” jelas
Blorong.
“Carilah manusia yang lemah iman dan ajarkan tentang ilmu
politik kekuasaan dan kesaktian. Tentu saja setelah mereka menyepakai
perjanjian yang kita buat untuk manusia. Perjanjian itu adalah bahwa manusia
yang telah meminta bantuanmu harus menyerahkan anak keturunannya untuk mengabdi
dan menjadi bagian bangsa kita kaum lelembut,” pesan Blorong panjang lebar.
Nawangwulan hanya menurut kehendak Blorong. Setelah dua
tahun lamanya dia menimba ilmu dari Blorong, barulah ia diberi sebuah istana di
sebelah istana Blorong. Ada
larangan dari Blorong, bahwa ia melarang pengikutnya memakai pakaian berwarna
merah dan hijau di sepanjang wilayah pantai kekuasaannya. Barang siapa yang
melanggarnya akan mendapatkan hukuman dari Blorong.
Sasaran pertama yang menjadi penganut dan penerima jasa Ratu
Pantai Selatan yang berkuasa di Jawa Tengah adalah seorang senopati pada masa
kerajaan Mataram, tepatnya di sekitar wilayah pantai Jawa Tengah.
Konon, ketika sedang asyik dalam peristirahatannya, tiba-tiba
laut berguncang keras. Guncangan ini membuat istana Nawangwulan kaget. Untuk
mengetahui asal muasal guncangan, lalu dibukanya kaca Benggala pemberian Dewi
Blorong.
Setelah mengetahui sebab musabab terjadinya guncangan istana
bawah lautnya, Ratu Nawangwulan keluar dari istananya. Dihampirinya laki-laki
muda yang sedang bertapa di atas batu di pinggiran tebing. “Wahai, Senopati ada
apa engkau mengganggu dan mengguncangkan istanaku. Apa yang kamu inginkan,”
tegur Nawangwulan si Ratu Pantai Selatan. ”Wahai Ratu Penguasa Laut Selatan.
Saya ingin jadi Raja, bisakah Ratu membantu saya untuk mewujudkan keinginan
saya,” kata senopati tersebut.
Ratu Nawangwulan menyanggupi keinginan Senopati untuk
menjadi raja besar di Tanah Jawa. Tetapi dengan syarat. Akhirnya pertapa yang
senopati itu menikah dengan Nawangwulan. Pernikahan itulah yang menjadi syarat
terkabulnya keingnan sang senopati.
Kanjeng Ratu lalu membawa senopati ke istananya. Di sana dilakukan pesta
pernikahan. Tapi sebelum itu Ratu Nawangwulan melapor kepada Blorong bahwa
dirinya hendak melakukan pernikahan dengan manusia. Sebab manusia itu
berkeinginan menjadikan raja terkenal diri dan keturunannya di tanah Jawa.
Keinginan itu direstui oleh Blorong.
Pernikahan pun dilangsungkan dengan meriah. Setelah itu Ratu
Nawangwulan mengingatkan perjanjiannya kepada senopati untuk membuat tempat
khusus bagi dirinya di dalam istananya.
Nawangwulan juga meminta kepada senopati agar anak-anak yang
lahir nanti menjadi pengganti dirinya. Dengan demikian seluruh anak
keturunannya kelak akan menjadi suami bagi Nawangwulan.
Panembahan Senopati mempunyai anak laki-laki yang berbadan
sukma dengan Ratu Nawangwulan. Anak ini dinamakan Rangga. Sedangkan sang
senopati akhirnya memiliki istana besar di Yogyakarta.
Begitulah cerita tiga penguasa ratu pantai selatan.
Ketiganya menguasai sebagian lautan. Mereka adalah Ratu Kaditha atau Dewi
Kaditha, Putri Nawangwulan atau Ratu Pantai Selatan dan Dewi Blorong.
Ketiga ratu inilah yang konon menciptakan banyak raja-raja
kecil yang tersebar di nusantara. Dan mereka-mereka (raja) itu diharuskan
menjadi suami dari Puteri Nawangwulan, Ratu Kaditha dan Dewi Blorong. Bahkan
anak keturunannya nanti–yang juga raja–akan menggantikan kedudukan bapaknya
dengan menjadi budak seks ketiga Ratu Pantai Selatan.
Ketiga ratu lelembut ini juga sering hadir pada orang yang
sedang melakukan penuntutan ilmu gaib. Karena itu bagi Anda, diharapkan berhati-hati.
Bagi siapa saja yang sedang menuntut ilmu gaib, bila salah melangkah akan
merugikan diri sendiri dan anak cucu. Bahkan, bisa-bisa memasuki alam jin atausiluman, dan itu akan merubah takdir hidup kita.